Rabu, 23 November 2016

HADIS TATA CARA MEMANDIKAN JENAZAH

Cara memandikan jenazah

Secara umum, cara memandikan jenazah adalah seperti mandi junub berdasarkan kesepakatan ulama (ijma'). (Al Ijma', Ibnul Mundzir tahqiq Al Barudiy, no. 79; Al Mulakkhosh, hal. 20-21)

Hadits Ummu 'Athiyah rodhiyallohu 'anha yang diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim dan selainnya termasuk hadits-hadits yang berisi pedoman tata cara memandikan jenazah secara terperinci. Beliau rodhiyallohu 'anha berkata:

دخل علينا النبي صلى الله عليه وسلم، ونحن نغسل ابنته (زينب)، فقال: اغسلنها ثلاثا، أو خمسا، أو أكثر من ذلك، إن رأيتن ذلك، قالت: قلت: وترا؟ قال: نعم، واجعلن في الاخرة كافورا أو شيئا من كافور، فإذا فرغتن فآذني، فلما فرغنا آذناه، فألقى إلينا حقوه، فقال: أشعرنها إياه -تعني إزاره-، قالت: ومشطناها ثلاثة قرون، -وفي رواية: نقضنه ثم غسلنه- فضفرنا شعرها ثلاثة أثلاث: قرنيها وناصيتها وألقيناها، قالت: وقال لنا: ابدأن بميامنها ومواضع الوضوء منها

"Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam memasuki tempat kami dan kami sedang memandikan jenazah anak beliau (yaitu Zainab). Maka beliau bersabda: "Mandikanlah dia tiga atau lima atau lebih jika hal itu diperlukan. Aku (Ummu 'Athiyah) bertanya: "Apakah jumlahnya ganjil?" Beliau menjawab: "Ya. Jadikanlah basuhan terakhir dicampur dengan kapur barus. Jika kalian telah selesai, maka panggil aku." Setelah kami selesai, kami panggil beliau. Maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam melemparkan sarung beliau kepada kami seraya berkata: "Pakaikan sarung itu padanya." Ummu 'Athiyah berkata: "Kami sisir rambutnya menjadi tiga bagian." Dalam riwayat lain: "Kami urai rambutnya, lalu kami cuci. Kemudian kami bagi menjadi tiga bagian, samping kanan-kiri dan satu bagian atasnya. Lalu kami letakkan ke belakang." Setelah itu beliau bersabda kepada kami: "Mulailah memandikannya dari bagian kanannya dahulu dan anggota wudhunya." (HR. Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

Berdasarkan hadits-hadits
tersebut dan semisalnya, maka tata cara memandikan jenazah dapat disimpulkan sebagai berikut:

Langkah pertama: Persiapan air untuk memandikan jenazah dengan dicampur dengan daun sidr (bidara) atau penggantinya seperti sabun atau pembersih lainnya. Air yang dipakai untuk memandikan jenazah adalah air dengan suhu normal, tidak panas (pendapat jumhur ulama). Hal ini karena air yang panas akan melembekkan tubuh si mayit. Air hangat atau panas hanya digunakan jika diperlukan untuk menghilangkan kotoran yang sulit dibersihkan dengan air dingin. Demikian juga ketika Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam meminta shohabat untuk memandikan jenazah anak beliau, tidaklah memerintahkan untuk menggunakan air hangat atau panas. Hal ini menunjukkan bahwa mereka menggunakan air dengan suhu normal. Adapun jika cuaca atau suhu air terlalu dingin, maka dibolehkan untuk dihangatkan sampai mencapai suhu normal, sehingga tidak kedinginan. (Jami'ul Adillah, hal. 181 dan Fathul 'Allam: 2/280)

Masalah: Jika tidak didapatkan air untuk memandikan jenazah, atau tidak memungkinkan untuk memandikan atau mengguyurnya dengan air, karena khawatir hancur atau rusak jasadnya, seperti luka bakar dan sebagainya, maka disyariatkan untuk tayammum menurut salah satu pendapat ulama, karena tayammum tersebut sebagai pengganti bersuci dengan air.

Sebagian ulama yang lain berpendapat untuk tidak dilakukan tayammum jika tidak mungkin dimandikan, karena tidak ada dalil yang menunjukkan akan hal itu. Akan tetapi langsung dikafani. Tayammum hanyalah disyariatkan untuk bersuci bagi yang masih hidup, bukan untuk yang sudah mati. Demikian juga, syariat memandikan mayit tersebut bukan dalam rangka membersihkan atau mensucikan dari hadats, akan tetapi untuk kebersihan jasadnya. Oleh karena itu, Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang yang memandikan jenazah untuk mencuci atau membasuhnya sebanyak tiga, lima atau tujuh kali. Sedangkan bersuci dari hadats itu tidak disyariatkan lebih dari tiga kali basuhan. Maka jika maksud memandikan tersebut adalah kebersihan jasad, maka tidak akan tercapai dengan dilakukannya tayammum.Sehingga pendapat yang lebih kuat adalah tidak dilakukannya tayammum (pendapat Ahmad dalam satu riwayat, Ats Tsauri, Malik, Asy Syaukani, Ibnu Utsaimin), wallohu a'lam(As Sailul Jarror, hal. 211, Imam Asy Syaukani; Asy Syarhul Mumti': 5/297, Ibnu Utsaimin; Fathul 'Allam: 2/283; Miskul Khitam: 2/209; Al Mulakkhosh, hal.28-29)

Langkah kedua: Orang yang memandikannya memulai dengan membalut tangannya dengan suatu kain atau memakai kaos tangan untuk membersihkan kotoran si mayit dalam keadaan tertutup aurotnya dengan suatu kain penutup setelah baju si mayit yang dikenakan ketika kematiannya dilepaskan semuanya. Para ulama telah sepakat akan wajibnya hal ini. Simaklah hadits Aisyah rodhiyallohu 'anha berikut ini:

لما أرادوا غسل النبي صلى الله عليه وسلم قالوا: والله ما ندري أنجرد رسول الله صلى الله عليه وسلم من ثيابه كما نجرد موتانا أم نغسله وعليه ثيابه؟ فلما اختلفوا ألقى الله عليهم النوم حتى ما منهم رجل إلا وذقنه في صدره ثم كلمهم مكلم من ناحية البيت لا يدرون من هو: أن اغسلوا النبي صلى الله عليه وسلم وعليه ثيابه فقاموا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فغسلوه وعليه قميصه يصبون الماء فوق القميص ويدلكونه بالقميص دون أيديهم.

"Ketika mereka para sahabat ingin memandikan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, mereka mengatakan: "Demi Alloh… Kita tidak tahu, apakah kita akan melepas pakaian Rosululloh sebagaimana kita melepas pakaian mayit-mayit kita atau kita mandikan beliau dengan pakaiannya?" Ketika mereka berselisih, maka Alloh melemparkan rasa kantuk atas mereka, sehingga tidaklah ada seorangpun dari mereka melainkan janggutnya telah menempel di dadanya karena tertidur. Kemudian seolah-olah ada seseorang dari arah sisi rumah -tidak diketahui siapa dia- mengatakan kepada mereka: "Mandikanlah Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dengan pakaiannya!" Maka mereka bangun dan bangkit menuju Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dan memandikan beliau dengan gamisnya tanpa melepaskannya. Mereka menyiramkan air ke atas gamis tersebut, lalu mengurut atau mengusap badan beliau dengan gamis tersebut dengan tangan-tangan mereka." (HR. Abu Dawud, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ath-Thoyalisi dan Ahmad, dishohihkan oleh Imam Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz, hal. 49)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa apa yang dilakukan pada jenazah Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dengan tidak dilepaskannya gamis beliau adalah merupakan kekhususan bagi beliau, tidak berlaku untuk selain beliau. (Fathul 'Allam: 2/278)

Adapun tujuan dari menutup badan si mayit dan membasuh dengan menggunakan kain atau kaos tangan adalah agar aurotnya tidak terlihat dan tidak tersentuh langsung oleh tangan orang yang memandikannya.

Batasan aurot laki-laki dan perempuan

Aurot seseorang adalah bagian tubuh yang harus ditutupi agar tidak terlihat oleh pandangan mata, baik ketika masih hidup ataupun setelah meninggalnya.

Aurot laki-laki adalah antara pusar dan lutut, yaitu mencakup kemaluan (qubul dan dubur) serta kedua paha, menurut pendapat yang kuat (pendapat jumhur ulama).

Ibnu Abdil Barr rohimahulloh dalam Al-Istidzkar (3/8) mengatakan: "Para ulama bersepakat bahwa melihat kemaluan seseorang baik yang masih hidup, maupun yang sudah meninggal itu harom, tidak boleh. Demikian juga tidak boleh menyentuh langsung aurot seseorang dengan tangan selain orang yang dihalalkan untuk menyentuhnya seperti suami istri dan sebagainya…" (Jami'ul Adillah, hal. 165)

Adapun kedua paha termasuk aurot, maka berdasarkan hadits:

القخد عورة

"Paha itu aurot." (HR. Ahmad dan selainnya dari sahabat Ibnu Abbas, Muhammad bin Jahsy dan Jarhad rodhiyallohu 'anhum, dihasankan oleh Imam Al-Albani dalam Al-Irwa', no. 269 dan Syaikhuna Yahya dalam Jami'ul Adillah, hal. 169)

Sedangkan aurot wanita muslimah di hadapan wanita muslimah lainnya adalah seluruh badannya kecuali bagian-bagian tubuh yang diletakkan padanya perhiasan wanita, seperti kepala, telinga, leher dan dada bagian atas (tempat kalung), lengan bawah (tempat gelang tangan) sampai sedikit di atas siku, telapak kaki dan betis bawah (tempat gelang kaki). (Talkhis Ahkamil Janaiz, hal. 30)

Adapun selain itu, maka merupakan aurot wanita yang harus ditutup di hadapan para wanita dan para mahromnya, sebagaimana dalam firman Alloh ta'ala:

ولا يبدين زينتهن إلا لبعولتهن أو آبائهن أو آباء بعولتهن أو أبنائهن أو أبناء بعولتهن أو إخوانهن أو بني إخوانهن أو بني أخواتهن أو نسائهن أو ما ملكت أيمانهن أو التابعين غير أولي الإربة من الرجال أو الطفل الذين لم يظهروا على عورات النساء

"Janganlah para wanita itu menampakkan perhiasannya yang tersembunyi (aurotnya) kecuali kepada suami mereka, karena suami itu boleh melihatnya dan tidak dibolehkan bagi selainnya. Diantara aurotnya yang lain, seperti wajah, leher, kedua tangan dan siku, maka boleh dilihat oleh ayahnya atau ayah suaminya atau anak laki-lakinya atau anak suaminya atau saudara laki-lakinya atau anak saudara laki-lakinya atau anak saudara perempuannya atau budak perempuannya yang muslimah, bukan yang kafir atau budak-budak laki-lakinya atau para pengikut dari laki-laki yang sudah tidak ada syahwat atau keinginan terhadap wanita, seperti laki-laki lemah akalnya (idiot) yang hanya menginginkan makan dan minum saja atau anak-anak kecil yang belum mengetahui perihal aurot wanita dan belum memiliki syahwat." (Tafsir Muyassar QS. An-Nuur: 31)

Masalah: Jika si mayit belum dikhitan, maka pendapat yang rojih (kuat) adalah tidak  boleh dikhitan, karena akan memotong kulit si mayit dan akan membuka aurotnya tanpa hajah untuk itu. (Fathul 'Allam: 2/282)

Masalah: Apakah perlu dipotong kumis, bulu dan kukunya? Pendapat yang kuat adalah disunnahkan untuk memotong kumis, bulu ketiak dan kukunya jika diperlukan, karena ini merupakan sunnah fithroh dan membuat penampilan lebih bagus.

Adapun bulu kemaluan mayit, maka yang rojih adalah tidak dicukur, karena harus membuka aurotnya dan menyentuhnya pada perkara yang tidak darurat. Demikian juga bahwa hal tersebut tertutup tidaklah nampak dari luar, sehingga tidak perlu dihilangkan. Adapun atsar Sa'ad bin Abi Waqqosh rodhiyallohu 'anhuyang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrozzaq dalam Mushonnaf keduanya, bahwasanya beliau pernah mencukur bulu kemaluan mayit, maka ini adalah atsar yang dho'if tidak shohih. Atsar tersebut diriwayatkan dari jalan perowi hadits bernama Abu Qilabah yang meriwayatkan dari Sa'ad bin Abi Waqqosh. Ini adalah sanad yang terputus, karena Abu Qilabah tidak pernah bertemu dengan Sa'ad. (Fathul 'Allam: 2/282-283)

Langkah ketiga: Sedikit merundukkan badan si mayit tidak sampai pada posisi duduk, karena posisi mendekati duduk termasuk menyakitkan si mayit. Kemudian mengurut bagian perutnya dengan lembut untuk mengeluarkan kotorannya agar tidak keluar setelah itu. Hal ini dilakukan jika diperlukan untuk itu. Jika tidak, maka tidak apa-apa untuk ditinggalkan. Tidak ada dalil syar'i yang menunjukkan disunnahkannya hal tersebut. (Jami'ul Adillah, hal. 183)

Langkah keempat: Setelah membersihkan kotoran, maka mulai mewudhukan si mayit seperti wudhunya ketika ingin mengerjakan sholat. Mulai dengan mencuci kedua telapak tangannya, mengusap gigi dan lubang hidungnya dengan lembut untuk membersihkannya dengan tidak memasukkan air ke dalam mulut dan hidung, karena berkumur dan istinsyaq (yaitu membersihkan bagian dalam hidung dengan memasukkan air ke dalam kedua lubang hidung dan mengeluarkannnya kembali) tidak bisa dilakukan untuk si mayit, akan tetapi cukup dengan mengusap lubang hidung dengan kain basah. Kemudian membasuh wajah, kedua tangan, mengusap kepala dan telinga, lalu membasuh kedua kaki sebagaimana yang dilakukan ketika berwudhu.

Langkah kelima: Setelah diwudhukan, maka dimulai mencuci bagian kepala dengan menguraikan terlebih dahulu jalinan-jalinan rambut mayit perempuan yang ada dan mencucinya dengan baik serta menyisirnya. Kemudian menjalinnya kembali menjadi tiga jalinan lalu diletakkan di bagian belakang. Kemudian mencuci atau membasuh badannya dimulai dari bagian kanan tubuhnya, baik depan maupun belakang dengan memiringkan si mayit ke kiri dan sebaliknya memiringkan badannya ke kanan ketika mencuci bagian kiri badannya.

Langkah keenam: Disunnahkan untuk memandikannya sebanyak tiga kali atau lebih jika diperlukan. Adapun memandikannya sekali saja, maka hukumnya boleh dan sah dengan syarat telah mencakupi keseluruhan badannya, sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhu tersebut di atas. Hadits tersebut diucapkan pada haji wada' di akhir-akhir kehidupan Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dan beliau tidak memerintahkan untuk memandikannya sebanyak tiga kali, sehingga hadits yang di dalamnya terdapat jumlah tiga kali ke atas menunjukkan bahwa hal itu tidak wajib, akan tetapi lebih utama. (Fathul 'Allam: 2/277) 

Langkah ketujuh: Jumlah memandikannya atau membasuhnya adalah ganjil, yaitu tiga, lima dan tujuh kali. Adapun lebih dari tujuh, maka hanyalah terdapat pada satu atau dua riwayat yang telah dihukumi oleh para ulama sebagai riwayat yang keliru, karena bertentangan dengan banyak riwayat lainnya dalam Shohih Bukhori, Muslim dan selainnya yang menunjukkan bahwa yang terbanyak adalah tujuh kali basuhan. Juga tidak ada ulama yang berpendapat lebih dari tujuh. Sebagian ulama mengatakan bahwa lebih dari tujuh tersebut termasuk berlebihan (isrof) dalam menggunakan air dan sebagian mereka mengatakan bahwa hal itu dapat melembekkan tubuh si mayit karena terlalu banyak mencucinya. Maka hukumnya adalah makruh, kecuali jika masih diperlukan. Hal ini berdasarkan hadits Ummu 'Athiyah di atas. (Jami'ul Adillah, hal. 149-150 dan Fathul 'Allam: 2/279)

Langkah kedelapan: Mencampur air dengan kapur barus atau minyak wangi pada basuhan terakhir, kecuali bagi seorang yang sedang muhrim (berihrom). Tidak boleh memberikan wewangingan dalam memandikan seorang yang sedang muhrim tersebut. Hal ini sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhuma:

ولا تحنطوه -وفي رواية: ولا تطيبوه- ، ولا تخمروا رأسه ولا وجهه ، فإنه يبعث يوم القيامة ملبيا

"Jangan diberi wewangingan. Jangan pula ditutupi kepala dan wajahnya. Sesungguhnya ia akan dibangkitkan nanti dalam keadaan bertalbiyah." (HR. Bukhori tanpa tambahan riwayat dan Muslim dalam Shohih keduanya, Abu Nu'aim dalam Al-Mustakhroj, Al-Baihaqi dalam Sunannya)

Langkah kesembilan: Jika masih keluar kotorannya setelah selesai dimandikan sebanyak tujuh kali, maka tidak diwajibkan untuk mengulangi memandikannya, tetapi cukup dengan membersihkan tempat keluarnya kotoran tersebut dan mengulangi wudhunya. Hal ini karena kotoran (najis) yang keluar itu tidak membatalkan mandinya, sebagaimana seseorang yang telah mandi junub lalu berhadats kecil, maka hanya mengulangi wudhunya saja dan tidak mengulangi mandinya. Adapun jika belum mencapai tujuh kali, maka bisa dimandikan kembali hingga mencapai tujuh kali basuhan. (Fathul 'Allam: 2/280 dan Jami'ul Adillah, hal. 184)

Langkah kesepuluh: Setelah selesai membasuh seluruh badan si mayit, dibolehkan untuk mengeringkannya dengan kain atau handuk hingga kering sebelum dikafani agar tidak membasahi kain kafannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar